Seperti apa S3 Computer Science di US

Tulisan keempat semenjak studi S3 di UCF, Florida, setelah lewat masa-masa UTS. Tulisan sebelumnya seputar kehidupan muslim di sini dan perjuangan ber-bahasa inggris bisa diklik untuk dibaca.

Ketika temen-temen dosen tahu saya mau S3 ada banyak doa dan ucapan selamat yang diberikan, saya mengamini dan berharap semua doanya dikabulkan. Dari sekian banyak ucapan, ada satu yang masih terkenang buat saya (dan istri yang aware lebih dulu): “… enjoy the journey“.

Kuliah Lagi

Di US, mahasiswa S3 tetap diminta untuk memenuhi lumayan banyak SKS yang sebagian besarnya cuma bisa diambil dengan kuliah (ada juga SKS yang bisa didapat dari penelitian). Saya sendiri kalau sesuai plan akan perlu ambil 8 mata kuliah selama S3 ini, itu pun sudah dibantu oleh transfer kredit kuliah S2 dulu. Kalau jaman S1, 8 mata kuliah terasa sedikit, paling 2 semester selesai. Tapi di sini, kuliah di tengah-tengah riset bisa jadi “annoying” banget, jadi saya disarankan teman untuk ambil 2 mata kuliah saja maksimal dalam satu semester.

Semester ini saya ambil mata kuliah Advance Computer Architecture (kita sebut CA, dosen utamanya supervisor S3 saya, Dr. Solihin) dan Computer Vision (kita sebut CV, saya ambil karena masih ngerasa perlu adaptasi, jadi ambil matkul yang saya rasa agak kuasai).

Tiap akhir kuliah beberapa mahasiswa ngantri di depan untuk tanya-tanya seputar materi atau apapun. Btw dosennya muda banget, Dr. Lou, kayaknya umurnya masih 27 tahun.

Ada banyak hal yang menarik selama kuliah di sini, tapi dua hal yang paling ingin saya bahas, dari segi konten, kalau kuliah di sini: 1. Tidak cuma teori; 2. Materinya yang luas.

Tidak cuma teori, karena dua mata kuliah yang saya ambil ternyata cukup dalam membahas sisi teknisnya. Kalau mata kuliah CV mungkin dulu di Indonesia juga diajarkan codingnya, tapi bedanya di sini dosen bener-bener turun ngajarin pemakaian tools-tools terkini, seperti PyTorch, dan memaksa mahasiswa untuk menguasai tools-tools tersebut. Selain dari dosen, asisten juga menjadwalkan untuk memberi tutorial khusus.

Dosen Computer Vision, Dr Rawat, njelasin dengan detail apa yang terjadi di balik framework deep learning, PyTorch

Untuk kuliah CA, dulu jaman S1 kuliahnya super teori dan kerasa abstrak karena kita bahas komputer yang tidak pernah kita lihat komponen-komponennya. Di sini agar kita terbayang apa yang terjadi di komputer, kita dapet tugas praktik untuk membuat cache simulator. Tugas besar ini tidak hanya bikin kita belajar cara kerja Cache, tapi juga pemakaian C++ yang lebih advance. Tugas ini yang (kayaknya) bikin beberapa mahasiswa pilih untuk nge-drop mata kuliah ini.

Ini pemandangan yang agak unik, karena di Indonesia, biasanya perkara teknis gini kebanyakan dosen tidak terlalu (atau bahkan enggan) mendalami, atau ya sudah dibiarkan mahasiswa untuk eksplorasi sendiri. Tapi di sini saya nggak nyangka baru semester satu sudah seintens ini tugas codingnya. Ratusan baris, dicek tingkat plagiasinya, setiap baris harus dijelaskan apa maksudnya, masih ditambah report hasil tugasnya.

Materi yang luas. Di kelas CV, setiap menginjak topik baru dosennya akan jelasin dulu gimana perkembangan topik itu saat ini. Menarik banget karena kita jadi sadar banyak ilmu-ilmu yang kesannya basic tapi ternyata masih dikembangkan dan digunakan di riset-riset kekinian. Dan karena kuliah Computer Vision bisa “dilihat”, jadi setiap dosennya mendemokan video teknologi-teknologi terkini berasa amaze sendiri.

Di kelas CA selain bahas riset, seneng juga kalau pas dosennya cerita gimana perkembangan arsitektur-arsitektur komputer yang sekarang, hubungannya dengan dulu dan dikaitkan dengan teori yang dipelajari. Di kuliah ini hampir semua brand komputer disebut jadi bahasan. Karena yang namanya arsitektur komputer ya tidak terlepas dari desain komponen dari produsen-produsen besar seperti AMD, NVIDIA, Intel, IBM, dsb.

Ketika sibuk, perpus jadi andalan. Btw kopi starbucks itu bukan “beli” di cafenya, tapi ambil dari mesin kopi di resto kampus

Rumitnya “kuliah lagi” ketika S3 ini sebenarnya disadari banyak orang, termasuk supervisor. Hampir semua supervisor yang peduli dengan mahasiswanya akan menasihati bahwa “kuliah jangan jadi yang utama”. Riset itu lebih utama. Kalau kata temen-temen nambahin: Kuliah itu ada kurikulumnya, ada batasannya, bisa dikejar, tapi kalau riset itu kan nggak ada batasannya, nggak tahu mana ujungnya, lebih sulit.

Research Assistantship

Kesibukan lain yang saya lakukan di sini adalah riset. Poin ini walau sebenernya bagian inti dari S3, tapi sebenarnya tiap kampus punya kebijakan yang beda-beda. Di Computer Science UCF,sepanjang yang saya tahu, untuk bisa memulai disertasi kita minimal perlu punya dua paper/publikasi, dengan salah satunya sebagai penulis utama.

Di sini tidak ada standar harus publikasi di jurnal atau konferensi terindeks Scopus, tapi minimal disetujui sebagai tempat publikasi yang “layak” oleh departemen. Aturannya terkesan ringan, tapi definisi “layak” di sini standarnya bisa jadi cukup tinggi (bagi beberapa dosen ini berarti top conference).

Karena saya ke sini juga direkrut sebagai research assistant (asisten riset) saya mulai eksplorasi riset sejak hari pertama. Saya wajib ketemu supervisor setiap seminggu sekali untuk laporan progres. Apa yang saya laporkan? dulu awal-awal saya harus presentasikan paper-paper dari top conference yang sudah saya baca, apa yang bisa dikritisi dari paper itu. Terkesan sepele, cuma baca dan meringkas. Tapi di sini saya jadi belajar banyak, karena supervisor biasanya minta saya mengkritisi paper yang artinya kita tidak hanya meringkas tapi juga memberi opini apa yang kira-kira bisa diimprove, apa yang baik, apa yang kurang, dsb. Dan itu membuat saya mau tidak mau harus memahami agak dalam.

Beberapa pekan terakhir ini karena saya mulai terlibat pada suatu grant, saya mulai fokus mengerjakan dan melaporkan topik riset yang lebih spesifik. Tapi saya tetap diminta supervisor untuk terus belajar bukan hanya hal baru tapi hal-hal lama tapi fundamental yang dirasa kurang (mengingat background saya).

Perpus kampus nyediain spot untuk beragam style belajar. Perpus tetep ramai kayak di atas bahkan setelah jam 9 malam.

Lintas Pengalaman

Masalah background atau pengalaman ini memang jadi tantangan lain yang juga saya rasakan. Karena sebenarnya pengalaman saya belum terlalu banyak di lab yang saya ikut. Saya tergabung di Lab ARPERS yang berfokus ke Arsitektur dan Security Computer. Sedangkan pengalaman saya banyak di bidang Machine Learning. Jjadi bisa dibilang pemahaman saya tentang arsiktektur dan security mungkin sama dengan rata-rata anak S1 yang baru ambil mata kuliahnya.

Weekly group meeting tiap Senin, salah satu anggota lab presentasi progres penelitian beberapa bulan terakhir. Tujuan utamanya biar bisa dapat feedback sekaligus sharing keilmuan untuk tambahan wawasan

Supervisor saya berharap saya bisa memanfaatkan pengetahuan saya di bidang machine learning di bidang Arsitektur-Security atau sebaliknya. Tapi, untuk bisa menemukan irisan keduanya saya mau tidak mau harus belajar banyak tentang Arsitektur dan Security. Tahapan belajar ini yang super challenging beberapa bulan ini. Karena tidak cukup hanya menunggu materi di kelas, saya juga harus sering-sering tanya, baca buku, paper, dan browsing-browsing biar bisa mengejar menyusul ketertinggalan selama ini.

Penutup

Bisa sampai S3 di negara dan di kampus yang nggak pernah kebayang seumur hidup, tanpa keluarga, dan di lab yang beda bidang keahliannya, membuat saya (sejujurnya) super takut di hari-hari menjelang keberangkatan. Inget banget sering ngobrolin ini sama istri hampir di mana aja setiap kebayang. Istri sering ngingetin untuk pasrah dan percaya gimana Allah bisa menakdirkan sampai sini. Dan kata-kata “enjoy the journey” juga menambah amunisi untuk “enjoying” dan “struggling” di saat yang sama.

By Rian Adam

Student at University of Central Florida; Lecturer at Universitas Islam Indonesia; Machine Learning Enthusiast;

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *