Ketika bahasa Inggris pas-pasan ke luar negeri

Tulisan ketiga seputar kuliah di UCF, Florida, sebelum semakin banyak deadline. Tulisan sebelumnya tentang persiapan dan kehidupan muslim di sini.

Lupa kata siapa, tapi dulu pernah ada yang bilang, Kalau mau lancar bahasa Inggris, kamu harus tinggal di luar negeri. Saya masih proses sih untuk membuktikan, tapi di sini saya mau sedikit cerita pengalaman sebulan ini, ketika saya yang punya kemampuan bahasa Inggris pas-pasan harus tinggal di luar negeri.

Definisi Pas-Pasan

Nilai IELTS saya 6.5, alhamdulillah, cukup untuk jadi syarat kuliah di luar negeri. Tapi itu bukan berarti saya bisa ngomong wasweswos di depan bule (atau di depan mahasiswa internasional Informatika UII T.T). IELTS sebenarnya sudah menguji empat aspek berbahasa: menulis, mendengar, membaca, bicara. Bentuk tesnya juga pasti sudah dirancang sebaik mungkin. Tapi setelah sebulan di sini saya ngerasa ada beberapa hal yang tidak teruji tapi sering muncul (dan bikin masalah) di sini.

Obrolan Sehari-hari

Yang kerasa beda ketika pertama hidup ngobrol bahasa Inggris dengan orang-orang di sini adalah secara umum mereka kalau bicara cepet banget. Sebenernya ini tergantung juga apakah pembicaranya penutur asli atau bukan. Yang bukan penutur asli, misal temen-temen dari timur tengah, india, atau asia timur, biasanya akan terasa sedikit lebih lambat ketika mereka bicara. Sedangkan penutur asli,.. wush. Mereka sudah biasa menyingkat-nyingkat kalimat, pakai kata atau struktur yang nggak baku, pakai idiom-idiom, yang semua itu mendukung untuk ngobrol lebih cepet.

Dan masalahnya bukan hanya kecepatan, tapi juga momen ngobrol itu. Salah satu poin yang beda dengan ketika tes IELTS dan TOEFL, saya nggak pernah “fokus” ketika ngobrol. Ketika tes, kita bener-bener fokus mendengarkan, bahkan sampai merem-merem. Ketika ngobrol kita nggak gitu kan? Ditambah jarak orang yang ngomong kadang bisa jauh, suaranya bisa pelan, pakai masker atau enggak, lingkungannya berisik atau nggak, obrolannya ada konteks atau nggak.

Pernah di suatu hari saya duduk-duduk di luar lab karena bikin microwave lab berasap, microwavenya harus digotong ke luar lab sebelum alarm asap bunyi dan basahin semua komputer. Sambil nunggu asap microwave hilang, tiba-tiba saya disamperin sama orang yang nggak kenal dan dengan super ekspresif, cerita seru, cepet, dan agak lama, sambil nunjuk-nunjuk microwave. Setengah mati saya ngira-ngira, ngomongin apa coba yang berhubungan dengan microwave di kampus ke orang yang nggak dikenal. Akhirnya saya cuma senyum, dan berdoa semoga dia nggak tanya balik sesuatu.

Setelah sebulan, kalimat “can you say it again?” semakin lancar diucapin.

Kuliah perdana oleh Supervisor. Beliau lahir di Indonesia, jadi alhamdulillah masih bisa mengikuti dengan baik
Sesi Orientasi yang bener-bener susah diikutin. Pembicaranya native, jauh, dan rame. Pembicara nge-joke, semua ketawa, saya bingung.

Mengajukan Pertanyaan

Ini saya sadar pas pertama ngajar di kelas internasional Informatika UII. Di IELTS, kita nggak diujikan cara bertanya. Kalau menjawab atau memahami pertanyaan, itu aspek penting di IELTS, tapi untuk menyusun kalimat tanya yang baik, itu beda lagi. Setelah satu semester ngajar, dan sebulan di sini, saya kok masih susah untuk membuat sebuah kalimat pertanyaan. Sering banget terbantu sama google translate, tapi kadang juga berakhir nggak jadi tanya karena bingung mau ngomong apa dan momennya terlalu singkat. Padahal kalau dialog santai misal di meja kantin bareng temen lab, bisa cepet nyusun pertanyaan penting banget. Sebagai contoh, saya pribadi ketika awal-awal di sini butuh waktu cukup lama untuk mentranslate beberapa contoh pertanyaan di bawah ini, itupun belum tentu nanti grammarnya bener ><

  • Sudah sampai mana risetmu?
  • Apa saja yang sudah kamu lakukan hari ini?
  • Tadi kamu seharian dari mana kok baru kelihatan?
  • Kamu ambil matakuliah apa aja semester ini?
  • Kamu dapat menu itu dari meja sebelah mana?
  • Menu apa saja yang ada?
  • Di mana rumah makan halal yang paling kamu rekomendasikan?
  • dsb.

Kalau sekarang, beberapa pertanyaan mulai saya “hafal” bahasa inggrisnya, jadi meski masih belum paham grammarnya tapi tahu apa yang harus ditanya, contoh yang sering: “Hi, have you prayed?”

Bus kampus yang berhenti di kompleks apartemen. Dulu awal-awal gerogi banget karena takut kalau ditanya-tanyain tapi ndak paham

Ditambah Nervous

Pakai bahasa Indonesia saja, kalau pas lagi nervous kita bisa bingung mau ngomong apa, apalagi kalau pakai bahasa Inggris. Ini yang bikin saya belum begitu berani ke mana-mana sendiri kayak pas jaman mahasiswa. Saya masih khawatir kalau ada “sesuatu” dan saya nervous, saya jadi bingung njelasinnya.

Hari ketiga saya di sini saya perlu beli HP. Karna nggak mau ngerepotin temen, dan masih PD eskplorasi, saya coba eksplor naik bis sendirian ke Best Buy (toko elektronik). Di tengah jalan saya mendadak panik, gimana cara saya turun dari bisnya ya ._. teriak? ketok2? gimana cara tanya? terus kapan saya boleh turun kapan nggak? oh no… mau browsing wifi di busnya lagi rusak dan HP saya belum punya paket internet. Akhirnya pas ada yang turun saya ikut turun, dan lanjut jalan panas-panas karna tokonya masih jauh.

Hidup di negara orang akan ada banyak hal yang bisa bikin nervous. Sekadar pas di depan antrian dan harus ngobrol sama petugas kasir, atau ketika ditanya orang nggak dikenal di tengah tempat umum. Saya juga masih nervous kalau ketemu Profesor pembimbing S3 saya. Tiap mau ngomong langsung deg-degan dan bikin jadi tambah suram bahasa Inggrisnya. Padahal beliau orang yang ramah dan orang Indonesia juga. Beberapa waktu lalu saya perlu presentasi progres dihadapan beliau, dan ada momen karena terlalu nervous, jangankan kalimat Inggris, kalimat Indonesia untuk menjawab pertanyaan beliau saja tidak muncul di kepala saya. Beliau sabar nunggu saya njelasin, saya diem panik dalam hati nyari kalimat yang tepat.

Grammar Penting?

Bisa iya, bisa nggak. Bagi saya yang bahasa inggrisnya belepotan, dalam beberapa momen saya orangnya main tabrak grammar. Biasanya ketika lagi diskusiin topik serius. Mikirin grammar pas lagi diskusi serius bikin diskusi jadi jalan lebih lambat dan tambah beban pikiran. Tapi, ketika bicara santai, sebaiknya tetep harus hati-hati. Beberapa kesalahan grammar bisa ngefek kemaknanya.

Di tengah diskusi santai bareng temen se-lab, Tom, yang asli Korea tapi bagus banget bahasa Inggrisnya. saya pingin bilang “Aku juga ambil kelas itu (semester depan)” tapi karena terlalu kebawa obrolan cepat, saya jadi keburu merespon, dan mentranslate “ambil” dengan “took” bukan “take” atau “taking” (agak ragu juga mana yang bener, tapi yang jelas bukan took). Dan itu membawa alur obrolan ke arah yang salah karna Tom jadi ngira saya bukan mahasiswa baru, dan sudah pernah ambil kelas itu semester lalu

Ngomong hati-hati itu juga susah, kadang kita pingin segera ngomong apa yang ada dipikiran. Terlalu mikirin grammar bisa bikin alur obrolan jadi hilang karena terlalu lambat merespon.

Tapi setelah jalan sebulan di sini, ternyata di sekitar UCF, Orlando, banyak sekali orang yang juga bukan penutur asli bahasa Inggris. Banyak imigran yang berbahasa Spanyol (udah jadi kayak bahasa kedua di sini) dan juga banyak mahasiswa internasional. Kondisi ini bikin orang-orang di sini lebih sabar dalam menghadapi orang-orang yang bukan penutur asli dan bahasa Inggrisnya pas-pasan seperti saya. Biasanya mereka akan sedikit melambatkan bicaranya, atau seenggaknya bersabar mendengar apa maksud yang dibicarakan.

Bahasa Spanyol ada di mana-mana

Saya pernah masuk toko dan mau tanya-tanya seputar diskon barang yang mau saya beli ke penjaga toko. Deg-degan, jadi walau udah nyiapin kata-kata di pikiran, tiba-tiba apa yang keluar di mulut beda. Penjaga tokonya jelas bingung saya ngomong apa, dan saya tambah panik. Terus alhamdulillah penjaga tokonya lumayan baik, nyuruh aku tenang untuk ulangi lagi, “take your time” katanya. Akhirnya bisa jelasin dengan baik pertanyaannya.

Apa yang terjadi?

Menariknya, kalau kita masih nggak pede, kita bisa sebenernya meminimalisir ngobrol dan jadi introvert. Menikmati apa-apanya sendiri. Dan kejadian dialog bahasa Inggris yang susah kayak di atas bisa diminimalisir.

Jelas kadang muncul takut nggak bisa survive di sini karena bahasa dan akademik. Tapi kayak yang istri saya juga sering ingatkan. Apa-apa yang kita peroleh itu takdir Allah. Syukuri dan jalani semaksimal mungkin, nantinya kalau ternyata “nggak survive” itu takdir Allah untuk saya, ya juga syukuri dan jalani semaksimal mungkin.

Jadi di sini sebisa mungkin tetap coba belajar ningkatin skill bahasa Inggris, belajar ngomong sambil mikirin grammar, dan belajar untuk tenang dan tidak nervous. Ngomong lambat tetep pede dan jujur aja nggak bisa bahasa Inggris. Dan kita lihat, apakah “Kalau mau lancar bahasa Inggris, kamu harus tinggal di luar negeri” itu benar.

By Rian Adam

Student at University of Central Florida; Lecturer at Universitas Islam Indonesia; Machine Learning Enthusiast;

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *